Beranda | Artikel
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 2)
Sabtu, 11 Juni 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 1)

Kecintaan kepada ilmu dan ulama

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengajarkan kepada kita penghormatan dan kecintaan kepada para ulama terdahulu. Oleh sebab itu, beliau menukil perkataan para ulama semisal Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Baghawi, Imam Ibnu Katsir, dan yang lainnya. Beliau juga mendoakan kebaikan dan rahmat untuk mereka. Selain itu, beliau selalu berupaya mengikatkan pemahaman kita dengan dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Hal ini menunjukkan kepada kita semangat beliau yang sangat besar dalam memahamkan kaum muslimin terhadap agama mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sudut yang lain, kita juga bisa melihat bahwa upaya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah untuk menegakkan dakwah tauhid ini dan menyebarkannya merupakan aplikasi dari prinsip dan kaidah yang selalu dipegang erat oleh para ulama. Kaidah tersebut adalah bahwa ilmu merupakan pondasi bagi segala bentuk ucapan dan amal perbuatan. Bahkan, untuk mewujudkan iman dan amal saleh serta tauhid yang lurus itu pun harus berdasarkan ilmu yang sahih. Karena itulah, beliau pun menukil perkataan Imam Bukhari rahimahullah, Bab: Ilmu sebelum Ucapan dan Amalan’.

Dalam kitab Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Iman itu memiliki dua pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang dibawa oleh Rasul dan mengilmuinya. Yang kedua adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan dan amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan pemahaman adalah mustahil. Karena pembenaran merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kalau begitu, maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti peranan ruh di dalam jasad.” (lihat kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syekh Abdurrahman As-Sanad hafizhahullah, hal. 10)

Kecintaan kepada ilmu agama dan pengagungan kepada ilmu Islam adalah pedoman yang harus selalu ditanamkan. Tidak mungkin bisa mewujudkan ibadah dan keislaman dengan benar, kecuali orang yang mengerti apa hakikat ibadah dan Islam secara benar pula. Oleh sebab itu, di dalam risalah Tsalatsatul Ushul beliau memberikan penjelasan tentang Islam, bahwa Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Oleh sebab itu, di dalam kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ beliau juga mengingatkan kepada kita bahwa sesungguhnya pengakuan tentang keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya, keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam, hal itu belum cukup dan belum bisa memasukkan pemiliknya ke dalam agama Islam. Tidakkah seorang masuk ke dalam Islam, kecuali dengan dua kalimat syahadat yang terkandung di dalamnya kewajiban mentauhidkan Allah dalam beribadah dan berlepas diri dari syirik dan kekafiran.

Baca Juga:

 

Karena itulah, di dalam Kitab Tauhid beliau membuat bab tentang dakwah/ seruan kepada syahadat laa ilaha illallah. Yang pada hakikatnya itu merupakan dakwah tauhid, dakwah yang diemban oleh para nabi dan rasul serta para penerus perjuangan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku menyeru menuju Allah di atas bashirah (hujjah) yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)

Di dalam Kitab Tauhid itu pula beliau membawakan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman dan di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepadanya untuk menjadikan dakwah kepada dua kalimat syahadat atau dakwah tauhid sebagai materi pertama dan paling utama yang harus diajarkan kepada mereka.

Pemurnian Ibadah kepada Allah

Di dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul beliau mengingatkan kepada kita bahwa sesungguhnya tauhid inilah perintah yang Allah Ta’ala berikan kepada seluruh manusia. Beliau pun membawakan firman Allah Ta’ala,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Perintah untuk menyembah (beribadah) di dalam ayat ini mencakup dua pemaknaan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah. Pertama, bermakna mentauhidkan-Nya dan yang kedua bermakna taat kepada-Nya. Kedua penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. (lihat Zaadul Masiir, hal. 48 karya Ibnul Jauzi)

Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma terhadap ayat,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian…” (QS. Al-Baqarah: 21)

Beliau berkata, “Tauhidkanlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 195 karya Ibnu Katsir)

Ayat ini berisi seruan dan panggilan kepada seluruh manusia untuk memurnikan ibadah kepada Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan mereka. Maka, sudah seharusnya mereka menujukan ibadah kepada Allah semata. (lihat Syarh Mutun al-’Aqidah, hal. 214)

Ayat di atas juga memberikan faidah kepada kita, bahwasanya ibadah merupakan kewajiban seluruh umat manusia. Semua orang wajib untuk tunduk beribadah (bertauhid) kepada Allah. Ibadah itu pun harus ditegakkan di atas dua asas: ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat Ahkam minal Qur’an Al-Karim, hal. 106)

Islam mengajak kepada pemurnian ibadah kepada Allah. Dan hal inilah yang ditentang keras oleh kaum musyrikin di sepanjang masa. Mereka menyombongkan diri bahkan menggelari da’i tauhid dengan julukan-julukan yang buruk. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمۡ كَانُوۤا۟ إِذَا قِیلَ لَهُمۡ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ یَسۡتَكۡبِرُونَ

وَیَقُولُونَ أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ

“Sesungguhnya mereka itu apabila diserukan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka menyombongkan dirinya, seraya mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)

Baca Juga:

 

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17])

Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23)

Karena pentingnya akidah tauhid inilah, Allah Ta’ala utus para rasul untuk menyeru manusia agar beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut. Setiap rasul berkata,

 یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah saja. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 59).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selama 10 tahun di Mekah pun mengokohkan tauhid, mendakwahkannya, memerangi syirik, dan memperingatkan umat darinya. Setelah itu, sepanjang hayatnya beliau berusaha meneguhkan dan mengokohkan akidah tauhid dan menerangkan hukum-hukum syari’at. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan dan memprioritaskan perkara akidah dalam belajar, mengajar, beramal, dan berdakwah. (lihat Ushul Ad-Da’wah As-Salafiyah, hal. 42)

Kalimat iman yaitu laa ilaha illallah mengandung sikap berlepas diri dari segala bentuk sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa ibadah ditujukan kepada Allah semata. Allah berfirman,

فَمَن یَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَیُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ

“Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terputus…” (QS. Al-Baqarah: 256).

Yang dimaksud dengan ‘urwatul wustqa’ (buhul tali yang paling kuat) adalah kalimat laa ilaha illallah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 684)

Allah berfirman,

أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ

تُؤۡتِیۤ أُكُلَهَا كُلَّ حِینِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَیَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ یَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan suatu perumpamaan tentang suatu kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang baik, yang pokoknya kokoh dan cabang-cabangnya menjulang di langit. Ia memberikan buah-buahnya pada setiap muslim dengan izin Rabbnya. Dan Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, mudah-mudahan mereka mau mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ di sini adalah kalimat laa ilaaha illallah. Beliau juga menjelaskan bahwa perumpamaan ‘pohon yang baik’ itu maksudnya adalah pohon kurma. Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah sebuah pohon di surga. (lihat Tafsir Al-Baghawi, hal. 685)

Ibnu Abbas juga menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ adalah syahadat laa ilaha illallah. Adapun yang dimaksud ‘pohon yang baik’ di sini adalah gambaran seorang mukmin. Yang pokoknya kokoh tertanam di dalam hati, yaitu kalimat laa ilaha illallah, dan cabangnya menjulang tinggi di langit maksudnya amal-amalnya terangkat ke langit. Ayat ini memberikan perumpamaan tentang keadaan seorang mukmin yang ucapannya baik dan amalannya juga baik. Perumpamaan seorang mukmin seperti pohon kurma. Senantiasa muncul darinya amal saleh pada setiap waktu dan musim, di kala pagi maupun sore. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 4: 491)

Demikianlah perumpaan tentang keberadaan seorang mukmin. Ia laksana sebatang pohon yang bagus. Akarnya tertancap kuat di dalam bumi berupa ilmu dan keyakinan. Adapun cabang-cabangnya berupa ucapan-ucapan yang baik, amal-amal saleh, akhlak mulia, dan adab-adab yang indah, semuanya menjulang tinggi di langit. Amal-amal dan ucapan-ucapan yang baik pun terangkat pahalanya ke langit ke hadapan Allah yang itu semuanya merupakan buah dari pohon keimanan. Dengan itu semua, maka seorang mukmin bisa mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang-orang lain di sekitarnya. (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 425)

Maka, sungguh aneh apabila ada sebagian orang yang mengaku sebagai da’i-da’i Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan, tetapi justru menyingkirkan dakwah tauhid dan peringatan dari bahaya syirik. Mereka ingin menyatukan umat tanpa menegakkan pondasi Islam, yaitu tauhid. Mereka ingin merajut persaudaraan tanpa menanamkan akar keimanan yaitu tauhid. Sungguh aneh bin ajaib! Betapa banyak orang yang mengaku muslim di masa kini tetapi menujukan ibadahnya kepada selain Allah. Mereka berdoa kepada Hasan dan Husain. Mereka meminta kepada sesembahan selain Allah. Apakah bisa dipersatukan orang yang hatinya menghamba kepada Allah semata dengan orang-orang yang hatinya tercerai-berai oleh beraneka ragam bentuk sesembahan?!

Baca Juga:

 

Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa masih banyak di antara umat Islam ini yang tidak memahami makna kalimat tauhid. Mereka mengucapkan laa ilaha illallah dalam keadaan tidak memahami maknanya dengan benar. Sehingga mereka pun terjerumus dalam berbagai bentuk praktek dan keyakinan syirik yang meruntuhkan iman dan ketaatan.

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bagaimana bisa tersembunyi makna tauhid ini dari orang-orang yang beribadah kepada kuburan dan makam-makam keramat, sementara mereka itu menyandarkan dirinya sebagai bagian dari umat Islam?! Bahkan, bisa jadi di antara mereka juga ada yang tergolong ahli ilmu agama dan fuqaha’/ahli fikih. Akan tetapi, sebenarnya hal ini merupakan buah (akibat) dari keteledoran dan tidak adanya perhatian yang serius terhadap perkara yang agung ini. Padahal inilah yang menjadi asas agama dan jalan keselamatan.” (lihat At-Ta’liq Al-Mukhtashar Al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 29)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka, bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi, yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu, maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan salat, puasa, dan haji, tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Baca Juga:

 

[Bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/75612-fikih-dakwah-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-2.html